:: home :: index ::

 

Minggu, 03/03/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Gereja Indonesia di Amerika Serikat (1)
Mangan Orang Mangan Ngangger Kumpul

Mangan ora mangan ngangger kumpul,” begitu kata orang Jawa. Artinya, makan tidak makan, yang penting bisa kumpul-kumpul. Orang Indonesia memang terkenal akan ikatan ke­bersamaannya yang kuat. Dr. Soritua Nababan, bekas ephorus HKBP (Huria Kristen Batak Protestan—red.), pernah bercerita tentang pengalamannya di Amerika. Saat itu, katanya, dia sudah kangen betul ngomong bahasa Indone­sia. Tapi bagaimana caranya menemukan orang Indonesia di kota yang begitu ramai? Bukankah penampilan orang Indonesia mirip dengan orang Malaysia, Filipina, Thailand, Kamboja, atau bangsa lainnya di Asia Tenggara? Dia dapat akal. Dia pergi ke sebuah gedung terkenal (kalau tidak salah Capitol Building), duduk di tangganya sambil mengenakan peci. Belum sampai setengah jam, ia sudah dihampiri oleh orang Indonesia lainnya. Segeralah mereka berkenalan dan ngobrol-ngobrol dalam bahasa Indonesia.

Kebiasaan kumpul-kumpul inilah yang saya pikir mendorong orang Kristen Indonesia untuk juga mengadakan kebaktian bahasa Indonesia, bahkan juga mendirikan jemaat Kristen Indonesia. Entah apa sebabnya, kebaktian dalam bahasa Inggris rasanya belum cukup. Ini pasti bukan soal bahasa, sebab di antara orang Kristen Indonesia yang ada di Amerika Serikat ini ada banyak yang sudah berada di sini selama lebih dari sepuluh, bahkan dua puluh tahun. Tampak­nya suasana keakraban di antara sesama orang Indonesia itulah yang menarik orang-orang Indonesia di sini untuk berkumpul dan beribadah bersama.

Salah satu gereja yang saya kenal cukup baik adalah GKI San Francisco, yang pernah beberapa kali saya sebutkan dalam tulisan-tulisan saya yang lalu. Jemaat ini adalah bagian dari Presbyterian Church (USA). Karena itu, pendetanya menjadi anggota Presbytery (Klasis) San Francisco, dan jemaatnya dimasukkan dalam Ethnic Ministry, sebuah pelayanan PC(USA) untuk orang-orang yang berasal dari budaya non-Amerika. Di dalam Ethnic Ministry ini, terdapat pula jemaat-jemaat berbahasa Spanyol dan sejumlah jemaat dari Afrika.

Sangat kebetulan, sebagian terbesar anggota jemaat GKI San Francisco terdiri atas orang-orang GKI (wil.) Jabar, Jateng dan Jatim. Ada sebagian anggotanya yang sudah saya kenal sejak di Jakarta. Bahkan pendetanya pun, Pdt. Simon Jonathan, lulusan STT Jakarta, yang sudah saya kenal sejak ia masih melayani di Jakarta.

GKI SF didirikan sekitar 10 tahun yang lalu. Saat itu ia berdiri sebagai jemaat tunggal, tanpa tumpuan kepada Sinode manapun. Nah, karena sebagian besar penatuanya saat itu adalah tokoh-tokoh GKI SW Jateng, maka mereka pun meminta supaya bisa berafiliasi dengan GKI SW Jateng. Namun GKI SW Jateng kemudian juga menganjurkan supaya GKI SF bernaung di bawah salah satu Sinode gereja arus utama di AS. Dan karena GKI SW Jateng sudah cukup lama bekerja sama dengan PC(USA), maka mereka menganjurkan agar GKI SF bernaung di bawah sinode tersebut. Begitulah sejarah singkat hubungan GKI SF dengan GKI di Indonesia dan PC(USA) di Amerika Serikat ini.

Menjadi bagian dari PC(USA) tentu mempunyai dampaknya tersendiri. Di satu pihak boleh dikatakan ada cukup banyak bantuan yang diperoleh jemaat ini. Misalnya, beberapa kali dalam satu tahun, GKI SF memperoleh bantuan keuangan yang tidak seberapa besar, namun cukup lumayan untuk menyelenggarakan program-programnya. Lalu, GKI SF juga mendapat­kan tempat beribadah di sebuah jemaat PC(USA) di kota San Francisco, meskipun mereka harus membayar sewa bulanan. Pendeta dan Majelis Jemaat GKI SF dilibatkan dalam program-pro­gram Presbytery San Francisco dan Sinode Am. Bahkan juga tersedia bea siswa bagi pendeta jemaat yang ingin memperdalam studinya – misalnya, dalam program Doctor of Ministry, yang dianggap akan berdampak positif langsung kepada jemaat.

Namun di pihak lain, menjadi bagian dari PC(USA) juga tentunya menuntut GKI SF untuk “mewarnai” teologi, peribadahan, dan disiplin gerejawinya sesuai dengan Tata Tertib PC(USA). Saya pikir, inilah salah satu pergumulan serius yang dihadapi oleh GKI SF saat ini. Jemaat GKI SF tidak hanya terdiri atas mereka yang berlatar belakang GKI, tetapi juga sejumlah aktivis muda dari gereja-gereja non-GKI. Sebagian dari para aktivis ini juga pernah aktif di kampusnya di Indonesia maupun di Amerika. Sebagian dari mereka merasa bahwa pengalaman yang pernah mereka peroleh di jemaat ataupun kampus mereka dahulu, di Indonesia atau di Amerika, adalah yang terbaik. Masalahnya tentu bisa lebih parah apabila masing-masing merasa bahwa dirinyalah yang paling benar, atau bahwa kebenaran berada di pihaknya. 

Untuk menghadapi masalah ini, saat ini saya mencoba menawarkan pendalaman Alkitab dengan menggali latar belakang Perjanjian Baru. Upaya ini diharapkan akan memberikan pema­haman kepada jemaat, misalnya, mengapa Matius diletakkan paling pertama? Mengapa ada per­bedaan di antara kitab-kitab Injil? Apa pergumulan yang dihadapi Rasul Paulus dengan jemaat-jemaat yang dikirimi surat olehnya? Bagaimana kita memahami surat-surat Penggembalaan dan surat-surat Am? Siapa yang menulis surat Ibrani? Bagaimana kita seharusnya memahami Kitab Wahyu? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang sejenis.

Dari sini saya berharap pembinaan dapat dilanjutkan dengan lebih memahami Perjanjian Lama, Sejarah Gereja, dan ajaran Presbyterian Church (USA). Mudah-mudahan ini semua bisa menolong jemaat, sehingga mereka datang ke gereja bukan sekadar untuk mangan ora mangan…. ***
 


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814