:: home :: index ::

 

Minggu, 17/02/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Pendidikan Dasar (5)
Pendidikan Lingkungan Hidup

Ketika saya menulis artikel ini, Jakarta sedang dilanda banjir hebat. Mungkin inilah banjir terparah yang pernah dialami kota Jakarta di dalam sejarahnya. Dan, seperti banjir sebelumnya yang pernah melanda kota Jakarta, kali ini banjir itupun terjadi, kabarnya, bukan hanya karena hujan yang turun melanda ibukota, melainkan karena kiriman dari daerah Bogor dan Puncak yang semakin gundul karena hutan-hutan dan daerah terbuka lainnya telah diubah menjadi daerah pemukiman dan padang golf. Inilah kebijakan salah kaprah yang diambil pemerintahan Orde Baru, bahkan juga mungkin sampai sekarang. Dalam jangka waktu pendek mungkin akibatnya belum terasa, namun setelah beberapa tahun barulah masyarakat kita memetik akibatnya. Ketika Pantai Indah Kapuk dibangun, orang mengira masalah yang dihadapi hanyalah bagaimana memindahkan sekawanan monyet Kapuk yang digolongkan sebagai binatang yang terlindungi, tanpa menyadari betapa monyet-monyet itu adalah bagian dari rantai kehidupan yang terjalin erat dengan keberadaan hutan bakau di daerah tersebut, kehidupan binatang laut, penyerapan air hujan, pengamanan terhadap gelombang laut, dll.

Hal ini mengingatkan saya akan program pendidikan di sekolah dasar di Berkeley yang banyak menekankan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Kemarin sore saya mendapatkan Surat Edaran PTA (Perhimpunan Orangtua Murid). Dalam surat itu disampaikan bahwa pada hari Sabtu terakhir bulan Februari ini akan diadakan pembersihan aliran anak sungai di belakang sekolah. Ini adalah program rutin yang diadakan pada setiap musim. Karena musim dingin di Berkeley ini hampir tidak terasa, maka musim dingin pun tidak menjadi halangan untuk membersihkan anak sungai itu.

Anak sungai di belakang sekolah ini cukup bersih, namun banyak pepohonan dan semak di kiri kanannya, sehingga daun-daun dan ranting-rantingnya banyak yang jatuh ke dalamnya dan mengganggu aliran air di situ. Sudah tentu, keadaan ini sangat berbeda dengan banyak anak sungai atau riol-riol di Jakarta dan Indonesia umumnya yang seringkali diperlakukan sebagai tempat pembuangan sampah, sehingga segala jenis kotoran bisa ditemukan di situ, dan akibatnya menyumbat lancarnya aliran, sehingga menyebabkan banjir.

Di San Francisco, kesadaran akan pentingnya kebersihan riol juga sangat ditekankan. Misalnya, di tepi-tepi jalan dekat lubang-lubang saluran air, ditempatkan tulisan: “Jangan membuang sampah apapun ke sini, karena aliran air ini langsung ke Teluk San Francisco.” Artinya, untuk menjaga kebersihan Teluk San Francisco, orang tidak boleh membuang sampah apapun ke riol-riol itu.

Selain keterlibatan orangtua dalam membersihkan anak sungai di belakang sekolah, John Muir Elementary School juga mempunyai kebun yang ditanami sayur-sayuran. Ada seorang guru khusus yang menangani program ini. Guru ini bekerja dengan murid-murid dan mengajari mereka bagaimana menanam sayur-sayuran serta manfaat sayur-sayuran itu bagi kesehatan mereka. Dengan demikian maka murid-murid belajar sejak dini bagaimana memanfaatkan lingkungan mereka dengan sebaik-baiknya. Masyarakat umumnya juga diajar untuk memperhatikan sampah yang mereka buang, dan memisahkan jenis-jenis sampah itu. Sampah plastik, kertas, karton, beling, kaleng dan aluminium semuanya tergolong sampah yang dapat didaur ulang, dimasukkan dalam tempat-tempat sampah yang khusus. Lalu sampah-sampah yang tidak dapat didaur ulang dimasukkan ke tempat yang lain. Dan untuk sampah dapur, masyarakat diajar untuk melakukan proyek pembuatan kompos sendiri. Truk-truk sampah datang pada hari yang berbeda-beda untuk mengumpulkan jenis-jenis sampah yang berbeda pula. Semuanya telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari.

Saya teringat beberapa tahun yang lalu pemerintah kota Jakarta mencoba melakukan hal yang sama, dengan membuat tempat sampah biru dan oranye. Yang satu untuk sampah kering, yang lainnya untuk sampah basah. Namun dalam prakteknya, hampir tidak ada satu orangpun yang memperhatikannya. Akibatnya, sampah-sampah itu akhirnya tetap bercampur baur. Mungkin untuk itulah kita masih memerlukan Bantar Gebang sebagai Tempat Pembuangan Akhir.

Oh ya, termasuk pula dalam program Pendidikan Lingkungan ini, baru-baru ini UC Berkeley mengeluarkan peraturan baru untuk para perokok. Orang boleh merokok hanya di luar ruangan dan itupun hanya boleh dilakukan dalam jarak minimal 15 kaki atau 5 meter dari gedung. Sebelumnya, orang boleh merokok dalam jarak minimal 5 kaki atau 1,5 meter, namun belakangan dinilai bahwa jarak itu tidak cukup. Dalam jarak 1,5 meter asap rokok masih bisa terbawa masuk dengan mudah ke dalam ruangan gedung. Oleh karena itulah, aturan itu kini diubah.

Bila dibandingkan dengan keadaan di Indonesia, sebetulnya kita tidak kurang pengetahuan tentang lingkungan hidup. Masalah ini sebetulnya sudah lama menjadi perhatian pemerintah Indonesia, namun dalam prakteknya, semua itu berhenti pada tingkat pengetahuan. Namun itulah masalahnya dengan seluruh masyarakat kita – pengetahuan itu tidak ditindaklanjuti dengan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. ***


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814