Di Berkeley ada sekitar 12
sekolah dasar negeri. Untuk daerah yang mungkin tidak lebih besar daripada
Pulo Gadung, jumlah ini tampaknya cukup besar, apalagi selain itu masih ada
pula sejumlah SD swasta, yang cukup mahal bayarannya. SD negeri ini terbuka
bagi semua penduduk Berkeley, termasuk orang asing.
Karenanya, ketika kami
mendaftarkan Gita sekolah, kami harus pergi ke Berkeley Unified School
District (BUSD), semacam Kanwil Pendidikan Dasar di sini dan membawa sejumlah
bukti bahwa kami memang adalah penduduk Berkeley. Bukti itu berupa rekening
bank, rekening telepon, rekening sampah, listrik dan gas, dan ID (semacam KTP)
salah satu orangtua murid. Lalu kami dipersilakan memilih sekolahnya. Ada 2
pilihan yang diberikan dan biasanya BUSD akan memberikan sekolah terdekat
sehingga transportasi murid ke sekolah tidak terlalu sulit.
Gita diterima di sekolah
pilihan pertama kami, yaitu John Muir Elementary School. Ia diterima di kelas
5, melanjutkan kelasnya di Louisville dahulu. Di AS ini, umumnya sekolah
dibagi menjadi 3 – seperti di Indonesia – namun dengan sedikit perbedaan.
SD berlangsung dari kelas 1-5, Middle School dari kelas 6-8, dan High School
dari kelas 9-12. Jadi, semester mendatang Gita akan masuk ke Middle School
atau SMP, yang sebetulnya tidak berbeda dengan kelas 6 di Indonesia.
John Muir tidak begitu jauh
letaknya dari tempat tinggal kami. Dengan berjalan kaki kami dapat menempuh
jarak itu dalam 12-15 menit. Sewaktu di Louisville tahun lalu, Gita
mendapatkan pelayanan antar-jemput bus sekolah, yang juga gratis. Namun kali
ini ia tidak bisa mendapatkannya karena tempat tinggal kami terlalu dekat
dengan sekolah, sementara waktu di Louisville, jarak rumah-sekolah kira-kira 5
km, hingga terlalu jauh untuk berjalan kaki. Masalahnya tentu semakin parah di
waktu musim dingin ketika salju turun. Sementara di Berkeley kami tidak
mengalami salju sama sekali.
Berbeda dengan di Indonesia, di
sini setiap sekolah berusaha mengembangkan kekhususannya masing-masing.
Misalnya, John Muir menekankan pada pendidikan lingkungan hidup dan kesenian,
Washington menekankan pada kemampuan membaca dan komunikasi, Whittier
menekankan pendidikan musik, dll. Dengan demikian, walaupun para murid
mendapatkan pendidikan inti yang sama, ada banyak kemampuan tambahan yang
berbeda yang dapat mereka pilih untuk mereka kembangkan di sekolah
masing-masing.
Pendidikan SD di sini berbeda
dengan di Indonesia. Pertama-tama, jumlah mata pelajaran yang diberikan: di
sini murid kelas 5 belajar bahasa Inggris, Matematika, Sains, Sejarah, dan
Pendidikan Jasmani. Berbeda dengan di Indonesia, di mana murid dijejali dengan
begitu banyak pelajaran.
Dalam bahasa Inggris, murid
belajar membaca dan membuat karangan. Setiap hari Senin Gita diharuskan
membuat kerangka karangan dengan topik yang sudah ditentukan. Biasanya
topiknya adalah masalah yang kontroversial, dan murid kelasnya dibagi dua:
satu kelompok harus membuat argumentasi untuk membenarkan topik itu, sementara
kelompok lainnya harus menentang topik itu. Misalnya: apakah pemerintah harus
menyensor kata-kata dalam lagu? Atau, apakah proyek angkasa luar itu suatu
pemborosan? Atau, bila kita menemukan uang $100 di jalan, apakah kita harus
mengembalikan kepada pemiliknya? Lalu pada hari-hari berikutnya ia harus
mengembangkan kerangka tersebut, sampai hari Jumat karangan itu sudah harus
siap dan diserahkan kepada gurunya.
Dengan demikian sejak masih
kecil murid telah diajarkan untuk berpikir kritis dan mampu berargumentasi.
Saya pikir cara ini sangat berbeda dengan di Indonesia. Di Indonesia ada
kecenderungan bahwa murid harus mengikuti pendapat guru. (Mudah-mudahan tidak
demikian halnya dengan sekolah-sekolah di BPK Penabur).
Lain dari itu, murid harus
meminjam buku dari perpustakaan sekolah dan membacanya. Setiap murid
mendapatkan sehelai kertas untuk mencatat berapa halaman yang dibacanya dan
berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk membacanya. Kertas itu dikumpulkan
setiap hari Jumat setelah ditandatangani oleh orangtua.
Setiap minggu murid mendapatkan
ulangan spelling. Ini tentu sangat penting karena cara mengeja bahasa
Inggris memang tidak sama dengan bahasa Indonesia, yang jauh lebih konsisten
sehingga mudah dan sederhana. Masalahnya, bagaimana dengan murid-murid yang
berasal dari negara lain yang tidak menggunakan bahasa Inggris? Banyak sekolah
di AS ini menyelenggarakan program English as a Second Language (ESL).
Para murid yang kurang mampu berbahasa Inggris dimasukkan dalam kelas ini,
tanpa menurunkan kelas mereka. Dengan kelas tambahan ini, mereka diharapkan
dapat meningkatkan dengan cepat kemampuan bahasa Inggris mereka. Gita sempat
dimasukkan dalam program ini, namun setelah tiga bulan ia sudah dianggap mampu
hingga tidak perlu lagi mengikutinya. Ketika mendapatkan rapornya di John
Muir, gurunya sempat kaget ketika saya katakan kepadanya bahwa ia baru satu
tahun mengikuti pendidikan sistem Amerika, dalam bahasa Inggris pula. Ia
mengira bahwa Gita belajar di Louisville sejak TK. Apakah ini tanda bahwa
kualitas pendidikan di Indonesia lebih unggul?
Kelas 4 dan 5 di John Muir,
seperti juga di banyak sekolah lainnya, digabung menjadi 1, dengan 2 guru yang
menanganinya. Untuk kelas 4-5 ini ada beberapa mata pelajaran yang sama, tapi
juga ada yang berbeda. Jadi, untuk kelas-kelas tertentu, mereka akan
dipersatukan, namun untuk kelas yang lainnya mereka akan berpisah dan belajar
sendiri-sendiri.