:: home :: index ::

 

Minggu, 06/01/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Pemikiran-Pemikiran Teologis (6)
Teror in the Mind of God

Peralihan tahun yang baru lalu di Jakarta diwarnai oleh ledakan bom di Restoran “Ayam Bulungan” yang mengakibatkan matinya seorang korban, sementara satu orang lagi melarikan diri dan sedang dicari polisi. Seorang teman mengomentari, mungkinkah Indonesia sedang mengarah ke situasi serupa yang berkembang di Palestina? Di sana para pemuda Palestina satu demi satu menyediakan dirinya menjadi bom-bom hidup, dengan mengikatkan sejumlah bom pada badan mereka sendiri, kemudian menyusup ke tengah keramaian daerah musuh dan meledakkan dirinya dengan harapan bahwa bersamanya akan mati pula puluhan dan kalau dapat ratusan musuh. Peristiwa penghancuran menara WTC dan gedung Pentagon 11 September lalu boleh dikatakan sebagai puncak praktek bom bunuh diri itu, mengulangi pesawat kamikaze AU Jepang pada Perang Dunia II.

Saya pikir, apa yang terjadi di Indonesia belum dapat dibandingkan dengan praktek bom bunuh diri para pemuda Palestina itu. Tidak ada fanatisme ideologi yang cukup kuat pada diri para pengebom di Indonesia untuk rela sampai mati meledakkan dirinya bersama-sama dengan pihak yang dianggapnya sebagai musuh. Untuk lebih memahami arti fanatisme para pembom bunuh diri itu, saya ingin menyampaikan pemikiran teologis-sosiologis salah seorang profesor yang diundang GTU beberapa waktu lalu.

Pada tanggal 2 November lalu GTU mengundang Mark Juergensmeyer, profesor Sosiologi dan Direktur Studi Global dan Internasional di University of California, Santa Barbara, untuk berbicara mengenai tema di atas. Juergensmeyer, lulusan teologi dari Union di New York yang beralih ke studi politik, sebelumnya pernah menulis buku Terror in the Mind of God, yang menganalisis gerakan-gerakan teror yang berlandaskan agama. Juergensmeyer sendiri pernah melakukan studi yang mendalam di India, Iran, dan Afghanistan.

Juergensmeyer mengatakan, ketika mendengar berita tentang penghancuran menara WTC dan Gedung Pentagon pada 11 September itu, ia segera bereaksi, “Wah, akhirnya berhasil juga!” Sebelumnya, Juergensmeyer pernah mewawancarai Abu Lima, salah seorang tokoh yang terlibat dalam peledakan WTC pada tahun 1993. Ia bertanya, “Mengapa anda mengebom Gedung WTC?” Abu Lima berbalik bertanya, “Mengapa orang mencoba mengebom Gedung Federal di Oklahoma? Mereka ingin menyampaikan pesan bahwa pemerintah AS adalah musuh mereka.” Dan kini mereka berhasil.

Reaksi Juergensmeyer yang kedua adalah perasaan lega. Lega karena korban di WTC cuma 5.000 orang [belakangan jumlah itu menjadi 3.000-an]. Mengapa ia merasa lega? Karena apabila gedung itu ditabrak beberapa jam kemudian, boleh jadi korbannya menjadi 25.000 atau bahkan 200.000. Jumlah 200.000 inilah yang konon direncanakan oleh si perencananya, guna membalas jumlah korban yang sama yang terbunuh oleh bom di Hiroshima.

Reaksinya yang ketiga, katanya, adalah rasa terkejut oleh reaksi yang diberikan oleh para pemimpin AS sendiri. “Amerika diserang!” “Kita akan berperang!” Menurut Juergensmeyer, reaksi inilah yang diharapkan oleh Osama bin Laden. Osama sangat mengharapkan AS akan menabuh genderang peperangan melawan Dunia Muslim. Abu Lima, demikian dalam wawancaranya dengan Juergensmeyer, mengatakan sangat kecewa terhadap reaksi Dunia Muslim yang tampaknya tidak peduli terhadap Amerika. Dengan mengebom Gedung WTC pada tahun 1993, ia mencoba membangunkan Dunia Muslim. Dan apabila negara-negara Islam bereaksi terhadap penghancuran Gedung WTC kali ini, maka tercapailah harapan para teroris itu.

Apakah urusan agama dengan semua ini? Banyak, kata Juergensmeyer. Agama bukan saja memberikan dasar-dasar moral dan etika, tetapi dalam perkembangannya selama beberapa abad ini, agama telah berperang dengan nilai-nilai pencerahan yang mengutamakan manusia, rasionalisme, sekularisme, dll. Agama – apapun juga – merasa semakin tersaingi dan kehilangan peranannya di dalam masyarakat. Di pihak lain, agama juga menyediakan citra yang dapat dimanfaatkan untuk kekerasan. Dan ini dapat ditemukan dalam setiap agama manapun juga. Dengan mudah orang menciptakan gambaran-gambaran tentang siapa yang baik dan siapa yang jahat. Siapa berada di pihak kegelapan, dan siapa yang menjadi anak-anak terang.

Dalam kasus para pembom bunuh diri Palestina, mereka merasa telah dipermalukan. Merekalah korban kekerasan, bukan pelakunya. Mereka berjuang bukan hanya untuk merebut tanah mereka, melainkan juga kebanggaan dan kehormatan mereka.

Apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi militansi keagamaan orang-orang seperti ini? Menurut Juergensmeyer, kita harus mengembalikan nilai-nilai agama yang bersifat memulihkan dan transformatif. Nilai-nilai agama yang menimbulkan kepedulian terhadap sesama, terhadap mereka yang menderita. Nilai-nilai agama yang melahirkan pengharapan.

Masalahnya, apakah pendekatan yang diambil oleh pemerintah AS dan sekutu-sekutunya sudah menggambarkan harapan-harapan yang dikemukakan oleh Juergensmeyer di atas? Atau, kalau kita mau menarik analogi dari apa yang terjadi pada tingkat global ini ke tingkat nasional, peranan apakah yang telah dimainkan oleh agama-agama di Indonesia? Lalu, hal-hal apakah yang dapat kita lakukan sebagai umat beragama untuk menghindari politisasi agama atau penyalahgunaan agama untuk tujuan-tujuan yang tidak selayaknya?


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814