Dalam kuliah terbukanya bulan Oktober lalu, Bellah menjelaskan
bahwa membanjirnya informasi yang dialami oleh banyak orang Amerika
sekarang tampaknya justru membuat orang kehilangan pegangan akan
imannya. Ia mengutip Richard Madsen, seorang pengamat agama, yang baru
saja mengadakan penelitian di kalangan Yahudi, Katolik, Injili, maupun
kafir baru (neo Pagan). Menurut Madsen, berbeda dengan iman
alkitabiah yang berbicara tentang Allah yang memilih kita sebagai
umat-Nya, “Sebagian masyarakat Amerika sekarang malah menemukan
Kitab Suci dengan memilihnya, bukan dengan menaklukkan diri
kepadanya.”
Bagaimana seseorang bisa tahu bahwa ia telah menemukan pilihan yang
tepat? Ketika seorang konsumen menemukan sesuatu di pasar terbuka, ia
tahu bahwa pilihannya itu tepat bila produk itu memberikan kepuasan
kepadanya.” Demikian pula halnya, orang merasa iman atau gerejanya
itu tepat kalau iman itu memberikan kepuasan kepada mereka. Inilah
gejala yang umum ditemukan di Amerika, demikian Bellah. Dari
pengamatan saya di Indonesia maupun di Amerika Serikat, saya pikir
kesimpulan Madsen ini memang sangat tepat.
Berdasarkan pengamatan Madsen itu, Bellah berpendapat bahwa bentuk
religiositas yang sangat individualis dan sangat “privatized”
itu, dalam jangka panjang, tidak akan mampu memberikan makna rohani.
Inilah yang menjadi keprihatinan besar Bellah dalam masyarakat
informasi yang kita temukan sekarang ini.
Selanjutnya, Bellah, berdasarkan penemuan Mary Douglas, mengatakan
bahwa orang umumnya menggunakan dua bentuk cara bicara, yaitu wacana
yang padat dan wacana yang terurai. Wacana terurai adalah wacana yang
mencoba memberikan penjelasan, sementara wacana padat adalah wacana
yang sering diwarnai dengan “Pokoknya begitu,” “Karena saya yang
mengatakannya!” Menurut Bellah, wacana yang terakhir ini justru
menjadi ciri bahasa ritual, yang menyiratkan otoritas pada pihak yang
mengatakannya. Dan pada akhirnya, demikian Bellah, wacana padat inilah
yang memberikan makna dalam hidup kita, dan bahwa pada akhirnya kita
tidak dapat hidup dari informasi, meskipun kita hidup di abad yang
penuh dengan informasi.
Bellah memberikan contohnya: bila orang yang kita cintai
mengatakan, “Aku cinta padamu,” ia tidak memberikan suatu
informasi yang baru kepada kita, melainkan makna. Kita tidak
membutuhkan informasi, apakah orang yang kita cintai itu masih
mencintai kita atau tidak. Yang kita butuhkan adalah makna dan hal itu
kita temukan melalui ritual wacana yang berulang-ulang tersebut.
Seorang mahasiswa doktoral yang dibimbing Bellah menceritakan
pengalamannya. “Seorang ibu mendekati ajalnya. Anak perempuannya
menghubungi pendeta yang melayani jemaat tetangganya. Sang pendeta,
yaitu sang mahasiswa doktoral tersebut, datang dan berbicara tentang
ibunya. Ternyata mereka memang pernah menjadi anggota gereja. Karena
itu sang pendeta mengusulkan agar mereka berdoa bersama di kamar sang
ibu. Perempuan itu berpendapat lain. Ibunya sudah beberapa lama koma
dan tidak akan mampu ikut berdoa. Namun si pendeta tetap mendesak.
Lalu ia berdoa kemudian mengajak perempuan itu mengucapkan Doa Bapa
Kami. “Belum selesai kami mengucapkan ‘Bapa kami yang di surga’,
mereka mendengar sang ibu bergabung dengan mereka. Ia sadar dari
komanya itu dan selama beberapa hari ibu dan anaknya mendapatkan
kesempatan berbicara yang sangat indah.”
Bellah berkata, “Doa Bapa Kami itu adalah ritual. Doa yang
diucapkan berulang-ulang dalam berbagai kesempatan hidup kita itu,
telah menjadi sarana yang menyampaikan makna kepada sang ibu dan telah
memberikannya suatu kesempatan terakhir yang indah bagi kedua insan
tersebut.”
Hal yang sama berlaku juga bagi Pengakuan Iman kita, demikian
Bellah. Seorang profesor Ortodoks Yunani menyampaikan kuliah tentang
Pengakuan Iman Nicea di Yale. Seorang mahasiswa tiba-tiba mengacungkan
tangannya dan berkata, ‘Itu bukan kredo saya.’ Sang profesor cuma
mengangguk namun ia melanjutkan kuliahnya. Menjelang akhir jam kuliah
itu, mahasiswa itu berseru kembali, ‘Itu bukan kredo saya.’
‘Memang bukan,’ kata sang profesor. ‘Ini adalah kredo gereja.
Ucapkanlah terus, nanti kamu akan mengerti.’
Ini, menurut Bellah, adalah contoh tentang penghayatan keagamaan
Amerika yang menuntut pemilikan pribadi, sementara sang profesor
berbicara tentang posisi kredo itu di dalam gereja. Kredo itu sudah
ada sebelum si mahasiswa ada, dan akan tetap ada setelah mahasiswa itu
meninggal. Wacana padat dan wacana terurai bisa hadir bersama-sama
seperti yang terjadi di dalam kuliah profesor itu, meskipun di kelas
sang profesor memperlakukannya sebagai wacana terurai.
Kembali kepada tema kuliah Bellah di atas, masalah yang kita hadapi
di abad informasi sekarang ini adalah bagaimana kita memahami
informasi yang kita terima sehari-hari? Mampukah kita membedakan
wacana padat dari wacana terurai? Mampukah kita membedakan mitos dari
realitas? Atau lebih tepat lagi, sejauh mana mitos – dalam bentuk
wacana padat – masih hidup dan memberi makna dalam hidup kita?