:: home :: index ::

 

Minggu, 16/12/2001
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Pemikiran-Pemikiran Teologis (3)
Makna Rohani Dalam Masyarakat Informasi 
Robert N. Bellah

Robert Bellah adalah profesor emeritus Sosiologi dari UC Berkeley. Namun ia juga banyak terlibat di dalam pendidikan di GTU, sehingga konon ia lebih suka disebut sebagai dosen GTU. Tentu kedengarannya aneh, sebab UC Berkeley jauh lebih dikenal daripada GTU. Namun, komitmen Bellah terhadap pendidikan teologi rupanya sungguh mendalam. Bellah, yang bukunya “Religi Tokugawa” sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menaruh minat yang besar terhadap Sosiologi Agama khususnya. Di dalam kaitan dengan pergumulannya dengan berbagai fenomena masyarakat, ia berbicara tentang bagaimana kita dapat menemukan makna rohani dalam abad informasi sekarang ini.

Dalam kuliah terbukanya bulan Oktober lalu, Bellah menjelaskan bahwa membanjirnya informasi yang dialami oleh banyak orang Amerika sekarang tampaknya justru membuat orang kehilangan pegangan akan imannya. Ia mengutip Richard Madsen, seorang pengamat agama, yang baru saja mengadakan penelitian di kalangan Yahudi, Katolik, Injili, maupun kafir baru (neo Pagan). Menurut Madsen, berbeda dengan iman alkitabiah yang berbicara tentang Allah yang memilih kita sebagai umat-Nya, “Sebagian masyarakat Amerika sekarang malah menemukan Kitab Suci dengan memilihnya, bukan dengan menaklukkan diri kepadanya.”

Bagaimana seseorang bisa tahu bahwa ia telah menemukan pilihan yang tepat? Ketika seorang konsumen menemukan sesuatu di pasar terbuka, ia tahu bahwa pilihannya itu tepat bila produk itu memberikan kepuasan kepadanya.” Demikian pula halnya, orang merasa iman atau gerejanya itu tepat kalau iman itu memberikan kepuasan kepada mereka. Inilah gejala yang umum ditemukan di Amerika, demikian Bellah. Dari pengamatan saya di Indonesia maupun di Amerika Serikat, saya pikir kesimpulan Madsen ini memang sangat tepat.

Berdasarkan pengamatan Madsen itu, Bellah berpendapat bahwa bentuk religiositas yang sangat individualis dan sangat “privatized” itu, dalam jangka panjang, tidak akan mampu memberikan makna rohani. Inilah yang menjadi keprihatinan besar Bellah dalam masyarakat informasi yang kita temukan sekarang ini.

Selanjutnya, Bellah, berdasarkan penemuan Mary Douglas, mengatakan bahwa orang umumnya menggunakan dua bentuk cara bicara, yaitu wacana yang padat dan wacana yang terurai. Wacana terurai adalah wacana yang mencoba memberikan penjelasan, sementara wacana padat adalah wacana yang sering diwarnai dengan “Pokoknya begitu,” “Karena saya yang mengatakannya!” Menurut Bellah, wacana yang terakhir ini justru menjadi ciri bahasa ritual, yang menyiratkan otoritas pada pihak yang mengatakannya. Dan pada akhirnya, demikian Bellah, wacana padat inilah yang memberikan makna dalam hidup kita, dan bahwa pada akhirnya kita tidak dapat hidup dari informasi, meskipun kita hidup di abad yang penuh dengan informasi.

Bellah memberikan contohnya: bila orang yang kita cintai mengatakan, “Aku cinta padamu,” ia tidak memberikan suatu informasi yang baru kepada kita, melainkan makna. Kita tidak membutuhkan informasi, apakah orang yang kita cintai itu masih mencintai kita atau tidak. Yang kita butuhkan adalah makna dan hal itu kita temukan melalui ritual wacana yang berulang-ulang tersebut.

Seorang mahasiswa doktoral yang dibimbing Bellah menceritakan pengalamannya. “Seorang ibu mendekati ajalnya. Anak perempuannya menghubungi pendeta yang melayani jemaat tetangganya. Sang pendeta, yaitu sang mahasiswa doktoral tersebut, datang dan berbicara tentang ibunya. Ternyata mereka memang pernah menjadi anggota gereja. Karena itu sang pendeta mengusulkan agar mereka berdoa bersama di kamar sang ibu. Perempuan itu berpendapat lain. Ibunya sudah beberapa lama koma dan tidak akan mampu ikut berdoa. Namun si pendeta tetap mendesak. Lalu ia berdoa kemudian mengajak perempuan itu mengucapkan Doa Bapa Kami. “Belum selesai kami mengucapkan ‘Bapa kami yang di surga’, mereka mendengar sang ibu bergabung dengan mereka. Ia sadar dari komanya itu dan selama beberapa hari ibu dan anaknya mendapatkan kesempatan berbicara yang sangat indah.”

Bellah berkata, “Doa Bapa Kami itu adalah ritual. Doa yang diucapkan berulang-ulang dalam berbagai kesempatan hidup kita itu, telah menjadi sarana yang menyampaikan makna kepada sang ibu dan telah memberikannya suatu kesempatan terakhir yang indah bagi kedua insan tersebut.”

Hal yang sama berlaku juga bagi Pengakuan Iman kita, demikian Bellah. Seorang profesor Ortodoks Yunani menyampaikan kuliah tentang Pengakuan Iman Nicea di Yale. Seorang mahasiswa tiba-tiba mengacungkan tangannya dan berkata, ‘Itu bukan kredo saya.’ Sang profesor cuma mengangguk namun ia melanjutkan kuliahnya. Menjelang akhir jam kuliah itu, mahasiswa itu berseru kembali, ‘Itu bukan kredo saya.’

‘Memang bukan,’ kata sang profesor. ‘Ini adalah kredo gereja. Ucapkanlah terus, nanti kamu akan mengerti.’

Ini, menurut Bellah, adalah contoh tentang penghayatan keagamaan Amerika yang menuntut pemilikan pribadi, sementara sang profesor berbicara tentang posisi kredo itu di dalam gereja. Kredo itu sudah ada sebelum si mahasiswa ada, dan akan tetap ada setelah mahasiswa itu meninggal. Wacana padat dan wacana terurai bisa hadir bersama-sama seperti yang terjadi di dalam kuliah profesor itu, meskipun di kelas sang profesor memperlakukannya sebagai wacana terurai.

Kembali kepada tema kuliah Bellah di atas, masalah yang kita hadapi di abad informasi sekarang ini adalah bagaimana kita memahami informasi yang kita terima sehari-hari? Mampukah kita membedakan wacana padat dari wacana terurai? Mampukah kita membedakan mitos dari realitas? Atau lebih tepat lagi, sejauh mana mitos – dalam bentuk wacana padat – masih hidup dan memberi makna dalam hidup kita? 


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814