Pertanyaan yang mengusik Ross dan Gloria agaknya
adalah, benarkah orang menjadi miskin karena mereka malas? Kalau
demikian halnya, mengapa di San Francisco sendiri sejak tahun 2000
jumlah orang miskin bertambah sampai 50%? Apakah mereka memang malas?
Akar masalahnya cukup rumit, dari soal kapitalisme, ideologi pasar
terbuka yang jelas tidak terbuka untuk semua orang, perlombaan dalam
menjual barang semurah-murahnya, yang digambarkan sebagai “race
to the bottom” yang akan membawa semua ke dalam kehancuran,
polarisasi antara orang kaya dan miskin yang semakin menajam sehingga
20% orang terkaya di dunia memperoleh 86% seluruh penghasilan di
dunia, dst.
Kenyataan ini ditambah lagi dengan tingkat kematian
yang sangat tinggi – setiap hari diduga 30.000 orang, terutama
perempuan dan anak-anak mati karena kekerasan, kelaparan dan pelayanan
kesehatan yang sangat buruk di berbagai bagian dunia. Jumlah ini jelas
jauh lebih tinggi daripada jumlah orang yang mati karena serangan
terhadap WTC dan Pentagon pada 11 September yang lalu. Dengan jumlah
itu, berarti setiap bulan ada 900.000, dan setiap tahun 10 juta, orang
yang mati. Pernahkah kita memikirkan itu semua? Apakah arti Injil
Yesus Kristus yang mengajarkan kepada kita agar kita mengasihi Allah
dan sesama kita?
Ross dan Gloria mencoba membaca kembali Alkitab di
dalam konteks Amerika Latin dan mereka menemukan betapa tema Tahun
Yobel ternyata sangat mencuat baik di Perjanjian Lama maupun di dalam
karya Yesus yang dikisahkan di dalam Perjanjian Baru. Misalnya, apakah
arti ucapan Yesus kepada iblis ketika Ia dicobai di padang gurun,
“Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang
keluar dari mulut Allah.” (Mat. 4:4)? Ayat ini sering ditafsirkan
secara rohani, bahwa manusia tidak hanya harus makan, tetapi juga
harus mendengarkan firman Allah. Bukan hanya bekerja, tetapi juga ke
gereja.
Tetapi benarkah demikian? Ross mengajak kita
membuka acuan yang digunakan Yesus untuk ayat ini, yaitu Ulangan
8:1-3. Di situ kita menemukan ayat yang berbunyi: “Jadi Ia
merendahkan hatimu, membiarkan engkau lapar dan memberi engkau makan
manna, yang tidak kaukenal dan yang juga tidak dikenal oleh nenek
moyangmu, untuk membuat engkau mengerti, bahwa manusia hidup bukan
dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang diucapkan
TUHAN.” (ay. 3) Jadi jelas di sini bahwa ayat yang dikutip Yesus
dalam Matius 4:4 mengacu kepada peristiwa manna seperti yang
dikisahkan dalam Keluaran 16.
Dalam kisah Keluaran digambarkan bahwa bangsa
Israel menyesal karena mereka harus meninggalkan Mesir, di mana mereka
setiap hari dapat menikmati “kuali berisi daging dan makan roti
sampai kenyang” (ay. 3), meskipun itu berarti hidup di dalam
perbudakan. Kepada mereka, Allah kemudian menjanjikan “hujan roti”
yang dapat mereka kumpulkan setiap hari. Mereka dapat memungut manna
tersebut “tiap-tiap hari sebanyak yang perlu untuk sehari, supaya
mereka Kucoba apakah mereka hidup menurut hukum-Ku, atau tidak.”
Itu berarti mereka diperintahkan untuk mengumpulkan sesuai dengan
jumlah yang dibutuhkan oleh seluruh anggota keluarga mereka. Allah
menjanjikan kecukupan bagi mereka, dan mereka harus belajar percaya
akan pemeliharaan Allah untuk hari itu. Apa yang terjadi apabila
mereka tidak taat dan mencoba mengumpulkan lebih dari kebutuhan
mereka? Manna tersebut akan menjadi busuk dan tidak dapat dimakan.
Pada hari yang keenam, demikian Allah berfirman,
mereka dapat mengumpulkan dua kali lipat karena mereka dilarang
bekerja pada hari Sabat. Dan ajaib! Manna yang dikumpulkan pada hari
keenam itu tidak akan menjadi busuk. Demikianlah, Allah mencoba
mengajar Israel untuk taat dan mendengarkan firman Allah serta
menerapkannya di dalam hidup mereka dalam bentuk kehidupan yang adil
bagi semua. Dalam keadaan seperti itu, “orang yang mengumpulkan
banyak tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak
kekurangan.” (Kel. 16:18) Ayat ini belakangan dikutip oleh Rasul
Paulus ketika ia membuat imbauan kepada jemaat Korintus agar mereka
mengumpulkan sumbangan untuk jemaat di Yerusalem (2 Kor. 8:15), sebuah
ayat yang sering kita dengar dibacakan sebelum persembahan di gereja
dikumpulkan. Namun, betapa sering kita lupa apa arti sesungguhnya dari
ayat ini, dari mana asalnya, dan apa yang diacunya.
Jadi masalah terbesar dalam menghadapi kemiskinan
dan kelaparan di dunia adalah masalah distribusi. Sebuah contoh yang
diangkat oleh Ross dan Gloria adalah harga mellon di Amerika Serikat.
Untuk setiap $1.00 yang dibayar untuk sebuah melon, petani di
Guatemala yang menanam dan menumbuhkan melon itu hanya menerima 1 sen.
Ke mana sisanya yang 99 sen itu? Uang itu diambil oleh tengkulak dan
penyalur melon itu ke AS, yang notabene tidak perlu bekerja sekeras
dan selama si petani Guatemala itu.
Itulah sebabnya, maka saat ini ada banyak gereja
dan LSM yang terlibat di dalam gerakan Tahun Yobel di seluruh dunia.
Ada beberapa pendekatan yang mereka lakukan, antara lain dengan cara
menyerukan pembatalan utang negara-negara miskin yang utangnya
ternyata sebagian besar dikorupsi oleh para pemimpinnya sendiri (ingat
Suharto dan kini kasus Buloggate II?). Rupanya para peminjam uang itu
harus diberikan pelajaran juga agar tidak sembarangan memberikan
pinjaman. Mereka harus memastikan bahwa pinjaman yang mereka berikan
itu akan sampai ke tangan pihak yang benar-benar membutuhkan dan
penggunaan-nya pun diawasi dengan sangat ketat.
Cara lain adalah memperbaiki sistem distribusi yang
ada di dunia dengan membeli langsung hasil produksi dari petani di
negara-negara miskin.
Tapi, mengapa setelah hampir 2000 tahun Injil
diberitakan kita tidak melihat banyak perubahan di dunia? Ross dan
Gloria mengutip pernyataan Jon Sobrino, seorang teolog Spanyol yang
bekerja di Costa Rica, yang mengatakan, “Masalahnya, kita tidak mau
melakukan apa yang diperintahkan kepada kita.” Dengan kata lain,
untuk menghasilkan perubahan nyata, mulailah dari diri kita sendiri!